FLPJatim.com,- Sahabat kok julid!”
Rahadi heran. Rania, istrinya, pulang sambil menggerutu tidak
jelas. “Siapa?” tanyanya kemudian.
Jangankan menjawab, Rania malah memajukan bibirnya kesal. Dia
memilih menghempaskan tubuhnya ke sofa yang berjajar rapi di ruang keluarga.
Wajahnya benar-benar tampak kesal. Rahadi sudah hafal benar,
ini pasti telah terjadi sesuatu. Kalau sudah seperti ini, langkah terbaik
adalah membiarkan istrinya sendiri.
Namun, belum juga dia beranjak dari duduk, Rania sudah
bersuara.
“Mas, dengarkan aku!”
Uh, gawat! Bisa siaran tanpa iklan selama berjam-jam ini.
“Aku heran, katanya sahabat itu membuat kita bahagia, bahkan
melebihi keluarga. Tapi, Muya apa?”
Rahadi memilih diam, tidak menanggapi apa-apa.
Muya adalah teman SMA Rania. Bisa dibilang mereka berdua
adalah sahabat karib. Selama bersekolah, mereka berdua selalu kompak. Bahkan,
banyak orang mengira mereka adalah saudara. Namun, setamat SMA, nasib membawa
mereka ke tempat yang berbeda. Bahkan, hilang komunikasi.
Hingga sekitar satu bulan yang lalu, melalui grup WhatsApp
Alumni, mereka bisa kembali berkomunikasi. Muya yang waktu itu masih tinggal di
pulau seberang, mengabarkan sedang mencari rumah tinggal di Jawa. Takdir seolah
bersambut, tetangga Rania ternyata menjual rumahnya karena harus ikut suami
pindah tugas. Maka, melalui komunikasi jarak jauh, Rania mendiskusikan ini
dengan Muya. Sebenarnya yang lebih tepat adalah Rania dan Muya bersekutu untuk
meyakinkan suami Muya agar mau membeli rumah itu. Pendek kisah, kini mereka
bertetangga.
Sejak Muya bertetangga dengannya, Rania sering repot sendiri.
Masak jadi istimewa, karena sebagian akan dibagikan ke Muya. Selain itu, dia
juga lebih ceria. Seperti hari libur kali ini, pagi-pagi sekali Rania sudah
meninggalkan dapur. Sarapan sudah siap, tapi dia malah tidak ada di rumah.
Sebagai suami, Rahadi cukup terbantu dengan kedatangan Muya.
Biasanya Rania akan terus memaksanya segera pulang karena dia merasa butuh
bantuan untuk mengurus Raihan, anak mereka yang berusia balita. Sejak ada Muya,
Rania lebih bahagia menjalani hari-harinya di rumah. Rahadi bisa menikmati me time, entah sekadar futsal atau menyalurkan hobi fotografinya.
“Mas tahu, tadi dia bilang apa? Julidnya keterlaluan…”
Rahadi menepuk dahinya. Dia tidak habis pikir, betapa
fluktuatifnya persahabatan Rania dan Muya. Bisa dekat seerat-eratnya, seolah
dunia milik mereka berdua. Namun, belum juga genap satu bulan bertetangga,
mereka sudah saling tersakiti.
“Benar kata orang, waktu membuat persahabatan hilang, bahkan
musnah.”
Mulai, nih! Rania
mulai mengeluarkan kata-kata puitis yang kadang sangat sadis.
“Sahabat kok
Julid!” pungkas Rania sebelum kemudian dia berlalu menuju dapur.
Rahadi menghempaskan napas dengan berat. Belum juga menikmati
sarapan, dia sudah kenyang dengan siaran istrinya.
“Ayo, Mas, sarapan! Apa Mas tidak suka dengan masakanku pagi
ini?”
Nah, kan, Rahadi
terkena imbas!
Sebelum siaran semakin panjang, dia memilih beranjak dari
duduknya, menuju dapur. Segera dia menghampiri meja makan.
“Masyaallah, sedap sekali sop ayam ini! Pasti lezat,” serunya
sambil segera duduk dan bersiap makan.
“Bilang saja kalau itu hanya hiburan,” ujar Rania dengan
kesal.
Rahadi tersenyum, berusaha sabar menenangkan istrinya.
“Ayo, kita sarapan!” ajaknya sambil menyentuh lengan Rania,
mengajaknya turut duduk dan menikmati sarapan bersama.
Rania menyadari emosinya tak terkendali, dia menghembuskan
napas dengan lemah.
“Mas Hadi sarapan sendiri saja, Rania mau nyuapin Raihan,”
kata Rania sambil berdiri.
Rahadi mencegahnya, “Raihan sudah sarapan tadi sama aku. Dia
sekarang main di taman belakang.”
Rania akhirnya menyerah, dia kembali duduk dan mulai
menuangkan nasi ke piring suaminya.
“Rania mau wudhu dulu, biar lebih tenang?” usul Rahadi.
Rania hanya mengangguk, kemudian pergi berwudhu.
“Rania kesal saja, tidak mengira kalau Muya jadi julid
begitu,” kata Rania setelah kembali dari berwudhu.
Rahadi tersenyum sambil menikmati sarapannya. Dia menyadari
benar kekesalan menggelayuti wajah istrinya yang masih berhias butiran air
wudhu yang tidak diseka.
“Muya julid bagaimana?” tanya Rahadi dengan hati-hati.
“Muya bilang aku terlalu gendut. Bahkan dia mulai mengatur
hidupku.”
Rahadi sekuat diri menahan agar tidak tertawa.
“Sudah seminggu ini, Mas. Setiap aku ke rumahnya, dia selalu
bilang kalau aku gendut. Bahkan sudah tiga hari ini dia terus memaksaku untuk
minum ini, makan itu, olahraga begini, begitu. Dia benar-benar cerewet! Ini kan tubuhku, kenapa dia yang mengatur?
Ini benar-benar body shimming.”
“Padahal, dia sendiri sekarang gendut, bahkan lebih gendut
dibandingkan aku.”
“Sudah, Ran, sudah! Baca shalawat, gih!”
Rania menuruti perintah suaminya, dia membaca shalawat
berkali-kali.
“Apa memang aku gendut, Mas?” tanya Rania malu-malu.
Raihan sontak menggeleng, “Tidak, tidak, Ran.”
“Ah, Mas hanya menghiburku!” sergah Rania.
Raihan benar-benar sekuat diri menahan tawa. Dia akan puasa
seminggu penuh kalau Rania marah hanya karena mendapati dia tertawa
terbahak-bahak dalam pembahasan berat bedannya.
“Ran, Rania! Assalamu’alaikum….”
Dialog di meja makan terjeda. Ada seseorang yang datang
bertamu.
“Sepertinya, itu Muya,” tebak Rahadi.
Rania bergeming, mulutnya terkunci rapat sedikit manyun. Dia
enggan menyambut tamunya. Padahal, biasanya, apapun ditinggalkan demi pertemuan
mereka berdua.
“Aku boleh masuk, Ran? Kamu di dapur ya?”
Suara Muya kembali menggema.
“Silahkan, Muya! Iya, Rania di dapur,” jawab Rahadi. Masih
sambil menahan tawa.
“Permisi ya, Mas Hadi! Muya masuk.”
Muya menuju dapur dengan terburu-buru. Bayi yang dia gendong
sedang tidur pulas. Dia mendatangi Rania dengan wajah bersalah.
Rahadi memilih bergabung dengan Raihan yang asyik bermain
lego di taman belakang, dekat dengan dapur. Dia membiarkan dua sahabat itu
menyelesaikan urusannya. Ah, meski bagi Rahadi, urusan itu terlalu konyol!
Bertengkar hanya karena gendut dan tidak gendut.
“Ran, kamu marah ya? Maaf ya!”
“Kamu tidak sadar ya, kalau kamu sendiri gendut?” serang
Rania.
Rahadi yang mendengar semuanya akhirnya tertawa tanpa suara
di taman belakang. Duh, sakit tertawa seperti ini! Benar-benar dua perempuan
yang menganggap ini masih masa SMA mereka.
“Iya, aku juga gendut. Tapi aku mau kamu menurunkan berat
badan,” kata Muya.
“Kenapa kamu mengatur hidupku?” Rania membantah.
“Please, Ran!”
“Tidak.”
“Ayolah!”
“Kenapa sih, kamu ini? Sahabat kok julid”
Muya terdiam. Dia mengayun bayi di gendongannya yang tidurnya
mulai terusik.
“Ran, sebenarnya, aku punya hadiah buat kamu. Tapi kamu harus
menurunkan berat badan,” jelas Muya dengan hati-hati.
“Tidak perlu iming-iming!” Rania masih emosi.
“Aku sih yang
salah, belinya kekecilan…” Muya mengaku malu-malu.
Rania terbelalak. Dia mulai mencerna maksud sahabatnya.
“Ran, aku sudah menyiapkan baju kembar untuk keluargaku dan
keluargamu. Kayak impian kita waktu dulu. Tapi, ternyata aku salah menyiapkan
ukuran bajumu….”
Seketika Rania ingat momentum SMA mereka. Saat mereka
memiliki impian poto bersama, mengajak keluarga masing-masing dengan baju yang
sama. Selain itu, Rania juga teringat waktu pertama dia bertemu Muya setelah lama
tak berjumpa, Muya tampak sedih menanyakan apa ukuran bajunya kini.
“Dari poto profil medsosmu, kukira ukuran bajumu masih M,
ternyata sekarang L,” kata Muya sambil ketakutan.
Alih-alih marah, Rania tertawa terbahak-bahak memikirkan
kekonyolan tentang semua ini. Jangan ditanya, Raihan sudah sakit perut, tertawa
sendiri menikmati parade humor persahabatan istrinya.[]
Tidak ada komentar