Judul : Lelaki Keseratus
Penulis : Rafif Amir
Penerbit : Mejatamu, Sidoarjo
Cetakan : I, Juni 2017
Tebal : x + 126 halaman
ISBN : 978-602-6679-03-1
Peresensi : Teguh Wibowo, Divisi Karya FLP
Jatim
Sebagai kesatuan dari
provinsi Jawa Timur, Pulau Madura menyimpan banyak hal unik. Keunikan Madura
bisa dilihat dari kultur atau kearifan lokal: alam, manusia, bahasa, seni
budaya, kuliner, destinasi wisata—yang khas daripada daerah lain. Kearifan
lokal merupakan bagian tak terpisahkan dari dimensi suatu daerah, wilayah, atau
negara.
Buku “Lelaki Keseratus”
ini di antaranya merefleksikan kultur di Madura tersebut. Buku yang diberi kesan
ilustrasi pendamping cerita ini terdiri dari 15 cerita pendek (cerpen).
Penulisnya adalah Rafif Amir, ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Jawa Timur periode
2017-2019. Penulis kelahiran Pamekasan ini menyuguhkan cerita yang dramatis,
heroik, nan memilukan.
Hartini ingin mencari
sendiri lelaki yang membuat hatinya berdebar, perasaannya tak karuan, dan
selalu membuat tidurnya tak tenang. Ia pernah mengenal seorang jenderal bintang
empat, seorang petinggi birokrasi, seorang wartawan, bahkan hingga seorang
preman kelas kakap. Dan lelaki saleh yang biasa lewat halaman rumah Hartini
saat berjamaah di masjid, menjadi lelaki keseratus yang diincar Hartini (hal
2).
Cerpen berjudul “Dendam”
berkisah tentang bara dendam Mat Sholeh kepada Tohar yang hendak memerkosa Narsih,
istrinya. Mat Sholeh adalah lelaki yang paling ditakuti di Desa Darseh. Ia
mendatangi rumah Tohar membawa setumpuk dendam, meskipun keduanya masih
memiliki hubungan kekerabatan. Tohar meregang nyawa dari clurit Mat Sholeh. Siti,
ibu Tohar pun naik tikam. Ia mengutus Hasan, adik Tohar, kelak membalaskan
dendam pada Mat Sholeh. Sepuluh tahun kemudian dendam dituntaskan Hasan.
Berpuluh tahun kemudian
Narsih mengutus Sukiman, anaknya yang telah menjadi sarjana dari universitas
tekemuka untuk membalaskan dendam kepada Hasan. Namun, Sukiman berpemikiran
lain. “Bu, jika kejahatan ini terus dilestarikan, maka akan menjadi dendam
turun-temurun yang takkan berkesudahan. Bukankah hanya Allah yang berhak
menentukan kematian seseorang? Jika tidak di dunia, di akhirat nanti pasti
Allah akan membalasnya” (hal 14).
Cerpen “Jawara Carok”
berkisah tentang Rodi’ah, putri Mat Jais yang terbunuh. Padahal Rodi’ah akan
segera menikah dengan Parno. Pandi tertuduh membunuh Rodi’ah, dan atas hasutan
dukun bernama Tarjo, Mat Jais siap membunuh Pandi. Mat Jais bertarung dengan
Pandi dan ia justru tewas lebih awal.
Parno tak suka
pertumpahan darah. Jika memungkinkan, ia lebih setuju dengan jalan musyawarah. Bukan
berarti ia tak membenci Pandi, namun barangkali didikan bapaknya sejak kecil
tentang ilmu agama membuatnya sedikit paham, bahwa membunuh atau terbunuh
karena carok sama-sama dilaknat Tuhan (hal 88).
Cerpen berjudul
“Bendera Setengah Pisau” berkisah tentang tingkah laku konyol ustaz bernama
Syaiful. Ia memajang 61 batang pisau dengan bendera yang terbuat dari uang
kertas seratus ribuan sebagai simbol merah dan kertas HVS putih yang telah
diperciki darah penyembelihan sapi sebagai simbol putih negeri ini yang tak
suci.
“Kemerdekaan bagiku
hanya milik orang-orang berdasi yang duduk manis setiap pagi menunggu secangkir
kopi dan angka berarti. Kemerdekaan hakiki bagiku adalah anyir darah pahlawan
negeri serta keringat-keringat yang keluar dari nurani rakyat” (hal 103).
Cerpen-cerpen pada buku
ini pernah dimuat di media cetak dan juga memenangkan lomba. Setidaknya menandakan
jaminan cerpen berkualitas. Ketika kultur dan kehidupan suatu daerah
dinarasikan ke dalam karya sastra, hasilnya dapat lebih bernilai. Pembelajaran,
tanggung jawab, dan rasa memiliki dapat kita tumbuhkan agar tercipta kesadaran
dan keterikatan. Selanjutnya, kita turut peduli menjaga sejarah dan fungsi
budaya kita. (*)
Tidak ada komentar