Oleh : Arul Chandrana
Divisi Karya FLP Jatim
YANG PALING menjengkelkan dari semua daftar
kegiatan rumahan adalah: membuang sampah. Hrrr,
bukan hanya karena kegiatan itu membuatmu harus berurusan dengan kotorandan kotoran
biasanya kalau tidak jorok maka basi; dan yang pasti busuktapi lebih karena membuang
sampah adalah, 1. Kegiatan yang paling dihindari semua orang, 2. Sampah yang kau
buang bisa membongkar kualitas hidup keluargamu, 3. Pergi ke tempat pembuangan sampah
sama sekali tidak asyik dibandingkan pergi ke semua tempat lainnya. Itu tiga alasan
yang membuatku jengkel saban kali mendapat giliran buang sampah. Tapi, seakan semua
itu belum cukup, masih ada satu alasan lagi mengapa aku sangat sangat berusaha menghidari
tugas buang sampah, 4. Tempat pembuangan sampah di desaku lebih mirip jurang pembuangan
mayat daripada lahan kosong penampungan sampah. Apa yang bisa membuatmu lebih tersiksa
dari melakukan tugas tak menyenangkan di tempat mengerikan?
Satu keresek hitam
besar kucantelkan pada pengait di bagian
depan sepeda motor, memasang wajah cemberut, mendengar ibu sekali lagi ngomel tentang
kebersihan rumah, memutar kunci sepeda motor, dan aku pun melaju setelah lima belas
menit sebelumnya bersungut-sungut. Tempatatau lebih tepat kusebut jurangpembuangan
sampah ini ada di sebelah selatan desa, cukup jauh meninggalkan wilayah pemukiman
dan melewati beberapa ladang jagung. Pada musim kemarau seperti ini, di mana tanah
merah mengering dan tanaman-tanaman merunduk layu, ladang-ladang itu lebih sering
sepi daripada ramai.
Jurang pembuangan
sampah di desa kami berupa sebuah cekungan sangat besar di permukaan tanah. Itu
bukan cekungan alami, beberapa puluh tahun lalu sebuah pabrik pengolah bata berbahan
dolomit pernah beroperasi di sana. Mereka menggali batu, memotong dengan gergaji
baja dalam bentuk persegi panjang, dan menjualnya ke seluruh kabupaten. Begitu batu-batu
itu habis, tinggal bagian yang terlalu keras untuk digergaji atau terlalu rapuh
untuk dipotong, mereka mencampakkan desa kami dengan menyisakan kubangan besar tak
berguna serta belasan keluarga tanpa kerja. Tak lama kemudian pemerintah desa memfungsikan
kubangan itu sebagai tempat pembuangan sampah. Jurang pembuangan sampah.
Ada sesuatu yang bisa
dibilang misterius tentang tempat itu. Kau bisa melihat asap selalu mengepul dari
suatu tempat di lereng yang penuh tertutup sampah. Setiap hari selalu saja ada asap
mengepul. Aku tahu asap itu berasal dari pembakaran, api itu pastilah disulut seseorang
untuk mencegah jurang penuh sampah. Tapi, bisakah api itu terus menyala sepanjang
hari setiap hari? Yang benar saja! Memangnya siapa yang mau merelakan diri setiap
hari datang ke kubangan sampah dan menyulut api di lerengnya yang terjal? Menurutku,
paling masuk akal seminggu sekali seseorang yang begitu peduli pada lingkungan akan
turun membakar sampah, bukan setiap hari.
Berikutnya, tempat
pembuangan sampah ini tak pernah sepi, baik oleh kucing liar maupun oleh para pemulung.
Keduanya tak pernah lelah mengorek timbunan sampah. Ok, kalau pemulung berkeliaran
di tempat pembuangan sampah memang wajar, kucing liar berkeliaran di tempat sampah
juga bisa diterima akal, tapi
apa yang kau katakan untuk peristiwa-peristiwa seperti
ini: kau sedang membuang sampah, dan kebetulan tempat itu sedang sepi, hanya ada
kau seorang, lalu tiba-tiba seekor kucing hitamKUCING HITAMmelompat keluar dari
gundukan smpah. Apa pendapatmu? Atau, ketika kau sedang bersiap melemparkan keresek
sampah mendadak kau dengar suara mengeong lemah dan melas, hampir seperti meratap,
dari balik tumpukan sampah di dekatmu, tidakkah kau mengira di sana ada kucing yang
tertimbun sampah dan butuh bantuan? Tapi apakah kau bersedia menuruni jurang sampah
untuk menyelamatkan kucing yang hanya kau dengar suaranya? Kejadian seperti itu
setiap hari terjadi di tempat pem maksudku jurang, jurang pembuangan sampah desaku.
Hingga akhirnya sore
ini, ketika motor bebek tuaku sampai ke jurang pembuangan sampah dan aku bergegas
turun untuk melemparkan samtunggu, apa itu?
Dari tempatku berdiri,
beberapa langkah sebelum mencapai bibir jurang, aku bisa melihat puncak topi anyaman
bambu dari seseorang yang sedang berdiri di bagian dalam jurang. Hmm,
itu aneh. Memang itu jenis topi yang biasa di pakai pemulung, aku biasa melihatnya
di pakai mereka di sini, tapi pemulung turun ke dalam jurang? Aku belum pernah melihat
ada pemulung melakukan hal itu sebelumnya. Biasanya mereka sibuk mengorek di tepian
kubangan, tidak sampai turun jauh ke dalam.
Aku maju beberap langkah,
cakupan pandangan mataku semakin luas, mengungkap sosok yang tadi hanya kulihat
puncak topinya saja. Ya, dia seorang pemulung, pemulung pada umumnya. Mengenakan
topi bambu yang tepian anyamannya rusak, beberapa helai bambu mencuat keluar tak
karuan. Sosok itu memakai kaos hitam yang amat kusam sehingga warna hitam itu berubah
menjadi warna baru yangtiba-tiba saja tebersit dalam benakkuterlihat seperti pemukaan
kuburan tandus.
Tangan kanan sosok
itu mencengkeram mulut karung yang tergolek di sebelah kakinya. Karung itu tampak
penuh separuh dan bergerak-gerak. Sementara tangan kirinya membawa gancu panjang
khas milik pemulung untuk mengorek dan memungut sampah. Ujungnya yang melengkung
hitam dan berkarat. Sosok itu hanya mengenakan celana pendek kotor dengan kedua
kaki terbenam di dalam sampah sampai ke tengah betis. Dia diam tak bergerak.
Begitu terpesona oleh
sosok itu, aku lupa bahwa aku harus segera membuang sampah dan pulang. Hanya saja,
sesuatu yang tak biasa sedang merambati tempat ini. Kesunyian ini, kucing yang tak
tampak satu pun, kicau burung yang senyap, angin yang berhenti berembus, dan sosok
yang berdiri mematung di bawah sana, semua itu membuatku terjerat dalam rasa penasaran
sekaligus takut yang tak mudah dijelaskan. Aku terpaku diam mengamati.
Entah berapa lama
waktu berlalu ketika aku merasa ada sesuatu melompat di dekatku. Perasaan itu membuatku
terkejut sekaligus sadar aku sudah terlalu lama di sini. Dan sosok itu masih di
sana, pemulung aneh itu, berdiri diam membelakangiku.
Peduli setan. Gumamku
sembari bersiap melemparkan keresek sampah; sekuat mungkin, sejauh mungkin.
Tepat pada saat itu,
si pemulung bergerak untuk pertama kalinya. Pertama-tama kepalanya, lalu kedua pundak,
disusul kedua tangan, badan, dan seluruh tubuhnya menggeliat. Aku terkesiap. Sosok
itu terus bergerak, namun sangat pelan seakan ada rantai tak kasat mata membelit
sekujur tubuhnya. Kemudian aku sadar bahwa diapemulung mencurigakan itusedang
berusaha untuk membalik badan. Kesadaran itu membuatku terkejut dan panik. Seketika
aku merasa tidak ingin dia memergokiku sedang mengawasinya.
Gerakannya kini lebih
keras dari sebelumnyaaku berani sumpah mendengar seperti geraman teredam darinya.
Dia benar-benar ingin berpaling tapi
kakinya terjebak di dalam sampah dan dia tidak
bisa melepaskan diri. Tanpa pikir panjang, dengan terburu-buru dan ketakutan, kulemparkan
kantong sampahku sekuat tenaga. Keresek hitam itu pun melayang. Sejenak bergerak
lurus di udara sebelum kemudian tunduk oleh gravitasi dan mulai bergerak melengkung
ke bawah. Ke bawah
tepat mengarah pada sosok misterius itu.
Mulutku ternganga.
Aku ingin berteriak AWAS tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Sosok itu sudah
bisa menarik satu kakinya keluar dari sampah dan hampir berhasil membalik badan
ketika keresek hitamku menghantam bagian belakang kepalanya dengan telak, membuat
topi bambunya terlontar dan mendorong tubuhnya jatuh tersungkur menyosor sampah.
Tidaaakkk!!! aku
memekik, tapi telingaku tidak mendengar suara apa pun.
Telingaku juga tidak
mendengar jerit kesakitan pemulung berbaju hitam. Hanya suara tubuhnya berkemerasak
jatuh menimpa sampah terdengar keras dan nyata.
Untuk sepersekian
detik aku dicekam kepanikan dan pergulatan antara takut, rasa bersalah, ingin meminta
maaf, membantunya berdiri, atau pergi melarikan diri. Dan beberapa detik kemudian
tanpa sadar aku sudah balik badan, lari menuju sepeda motor, memutar kontak, memasukkan
perseneling, dan kabur meninggalkan tempat pembuangan sampah. Jantungku berdentam
begitu kencangnya seakan siapa pun yang kulewati di tepi jalan bisa mendengar. Tak
pernah aku ketakutan separah itu sepanjang hidupku.
Sepanjang jalan pulang
aku mengingat-ingat apa yang ada dalam keresek sampahku tadi. Bungkus mie instan,
kulit buah, potongan-potongan sayur yang tidak di masak, cabikan kertas, sisa makanan,
tulang ikan
apa lagi? Apa lagi? Kepingan gelas pecah? Pecahan piring keramik? Bilah
pisau yang copot dari gagangnya? Tidak tidak, tidak ada semua itu. Aku yakin sekali.
Tidak ada benda keras atau tajam dalam keresek tadi. Aku yakin itu. Ya, aku sangat
yakin. Semuanya hanya sisa makanan. Semuanya barang lunak. Aku yakin keresek itu
tidak melukai pemulung tadi. Aku yakin dia baik-baik saja. Aku yakin pemulung ituBERDIRI
TEPAT DI DEPANKU!
Tangan dan kakiku
refleks menginjak rem, menghasilkan bunyi berdecit mengerikan dan membuat ban belakang
ngepot tak karuan. Aku masih menjerit bahkan ketika motorku sudah berhenti total.
Beberapa langkah di depanku, pemulung itu menampakkan wujud aslinya: orang-orangan
sawah yang diberi pakaian hitam.
Sialan! umpatku,
lega dan bersyukur.
Wajah orang-orangan
sawah yang dilukis pada sebutir kelapa menyeringai puas kearahku. Aku tidak memerhatikannya.
Belum.
***
Makan malam lauknya
lumayan spesial: sate ayam sambal kacang. Tentu saja kami tidak membuat sendiri
sate ayamnya. Ayah pulang dari syukuran di rumah seorang rekan kerja yang barusan
beli mobil baru. Dari sana ayah membawa pulang dua puluh lima tusuk sate ayam. Jumlah
yang cukup untuk membuat kami semua tidak ingin makan sate ayam beberapa minggu
ke depan.
Feli, malam ini gak
boleh nonton TV. Tadi kamu bilang ada tiga PR yang harus dikerjakan. Ucap ibu di
dapur, aku sedang membantunya mencuci piring.
Emang siapa yang
mau nonton TV?
Iih, gayamu. Coba
kalau ibu tidak mengingatkan, kamu pasti langsung geloyor ke depan TV sampai lupa belajar. Aku hanya tertawa membenarkannya.
Tepat dua belas menit
kemudian, aku sudah sibuk di dalam kamar mengerjakan PR SBK tentang sejarah tari
gelatik, menulis essay satu halaman tentang pentingnya menggunakan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar, dan tanpa sadar ketiduran saat belum satu pun soal fisika kukerjakan
dari lima soal yang ada.
Cara tidur paling
buruk adalah ketiduran di meja belajar di sebelah PR yang belum dikerjakan. Tidur
seperti itu membuat punggung sakit, tangan kram karena tertindih kepala, perasaan
bersalah karena belum menyelesaikan tugas, dan hati menciut panik ketika sadar bahwa
PR itu harus dikumpulkan besok pagi. Sungguh itu cara tidur dan bangun paling menyaktikan
yang harus dialami manusia selama 12 tahun masa wajib sekolahnya. Dan aku baru sepuluh
tahun melaluinya.
Aku mengucek mata,
melirik jam kecil bergaya Barbie di pojok mejapukul 11.34 malam, bimbang apakah
harus mengejrkan PR fisika malam ini atau besok pagi-pagi. Menguap sekali dan yakin
bahwa aku sebaiknya melanjutkan tidur dan memasrahkan urusan PR pada kekutan persahabatan
masa SMA. Itu cara terbaik.
Segera kumatikan lampu,
naik ke atas dipan dan menarik selimut menutup sekujur badan. Suasana kamar yang
remang-remang terasa membius sekaligus menyenangkan, dan menjadi semakin nyaman
dengan menggelung di balik selimut. Ini selimut mahal hadiah dari paman yang bekerja
di Jakarta. Bahannya jelas berkelas dan mahal, selimut ini bukan hanya terasa lembut
di tangan tapi juga terasa
SREK
Hmm, sehelai daun
gugur di luar sana. Dalam kegelapan.
SREK
Aku harus tidur, ini
sudah larut malam dan angin bertiup kenc
SREK
Daun gugur lagi
.
terkadang, suara daun jatuh bisa menjadi musik pengantar tidur yang
SREK, SREK, SREK
Tiga daun jatuh berurutan.
Tiga jatuh bergiliran. Mengapa
mengapa suaranya terdengar sangat dekat dan nyata?
Bukankah sebelum ini aku belum pernah mendengar suara daun jatuh di luar kamarku?
TIDAK PERNAH!
SREK, SREK
Kantukku seketika
menghilang sirna. Mataku membuka lebar dan kesadaranku langsung penuh mengisi kepalaku.
Aku tahu aku mendengar suara daun jatuh, atau
sesuatu seperti daun jatuh. Aku tahu aku mendengarnya. Sangat jelas, malah.
Tapi aku juga tahu mustahil sura daun jatuh bisa terdengar dari kamarku. Pohon terdekat
adalah pohon jambu air dan itu letaknya sekitar lima meter dari kamarku. Daun pohon
jambu yang jatuh tak pernah cukup keras untuk bisa terdengar dari kamar.
SREK
Lalu aku mendengar
suara gesekan itu. Seperti suara sesuatu yang dijejalkan dengan paksa ke dalam celah
yang kekecilan. Lalu, setelah hening sepersekian detik, SREK, terdengar suara daun
jatuh menimpa daun lainnya. Atau
Itu bukan daun!
Benar, itu bukan suara
daun jatuh. Jadi apa? Kukumpulkan keberanianku, perlahan menarik turun selimut dari
wajah, cukup di bawah mata untuk memeriksa isi kamarku. Pandanganku tertuju pada
lobang ventilasi yang berada tepat di atas meja belajarku. Aku bisa mendengar sesuatu
sedang dijejalkan oleh seseorang dari luar sana. Sesaat kemudian, benda itu berhasil
menyelusup lobang ventilasi dan jatuh bebas di atas meja belajarku. Aku terhenyak
di sana, di atas meja belajarku
. sampah menumpuk membentuk gundukan kecil. Ada
bungkus mie instan, ada kulit buah, ada keresek hitam, ada
semua itu adalah sampah
yang kubuang tadi sore! Sementara aku tercekat ketakutan, sampah itu masih berjatuhan
dari lubang ventilasi diiringi suara tawa cekikikan dari luar kamar.
***
Semua pelajar SMA
percaya bahwa guru mereka melakukan kesalahan dalam mengelola sekolah. Seperti,
mereka percaya jam masuk terlalu awal, jam istirahat terlalu cepat, jam pulang terlalu
lambat, dan mereka juga percaya beberapa pelajaran sebaiknya diajarkan hanya satu
jam dalam seminggu. Tapi dari semua keluhan itu ada satu keluhan fatal yang hanya
di alami Feli dan teman-teman sekelasnya: fisika diajarkan pada jam-jam terakhir
sekolah. Ketika semua tenaga sudah habis, ketika suhu ruang kelas menjadi sangat
gerah, ketika rasa lapar menjadi sangat nyata, dan suara kendaraan di jalan raya
terdengar sangat menggoda. Fisika pada jam-jam terakhir adalah sebenar-benarnya
siksaan.
Dan hari ini Feli
harus menjalani dua siksaan sekaligus: mengikuti pelajaran fisika di jam terakhir
sekolah dan mengerjakan PRnya setelah jam sekolah bubar.
Ya ampun, Pak. Pliiisss, saya kerjakan di rumah saja ya
PRnya. Saya janji, janjiiiii. Pasti Feli kerjakan. Besok pasti Feli kumpulkan sebelum
jam pelajaran pertama.
Kamu ingin mengerjakan
PR ini di rumah? tanya guru fisikanya sembari menata rapi semua lembaran kertas
PR milik teman-teman kelas Feli. Tidak bisa. Ini kesempatan terakhirmu. Bapak akan
mengoreksi semua kertas ini di kantor dan kamu segera kerjakan PRmu. Kumpulkan di
kantor kalau sudah selesai.
Tapi, Pak.
Tapi, kalau bapak
sudah selesai mengoreksi dan kamu belum mengumpulkan pekerjaanmu, berarti kamu sudah
kehilangan kesempatan mendapatkan nilai. Itu tapi yang harus kamu tahu. Dengan
kalimat itu, Feli ditinggal sendirian di kelas.
Feli mengembuskan
napas kesal sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua temannya sudah
menghambur meninggalkan kelas sejak delapan menit lalu, dan kini dia sedang mendengarkan
suara kelatuk sepatu guru fisikanya yang semakin menjauh. Tidak ada cara lain untuk
mengatasi semua ini selain dengan mengerjakan soal-soal fisika yang aduhai sulitnya.
Harus.
Feli bangkit dari
kursinya, pergi menuju lemari kelas, membuka-buka tumpukan buku di dalamnya, berharap
menemukan sesuatu yang bisa membantunya mengerjakan PR fisikacatatan kakak kelas,
buku teks dengan jawaban, atau apa saja. Tapi lima menit sudah lewat dan dia tidak
menemukan apa-apa di sana. Kini Feli yakin dia benar-benar harus menghadapi semuanya
seorang diri. Ketika Feli bergerak kembali menuju bangkunya, sepintas lalu dia melihat
keluar melalui jendela dan di sana, di seberang jalan, berdiri satu sosok berbaju
hitam di dekat tiang listrik.
PEMULUNG ITU!
Terkejut, Feli merasakan
jantungnya serasa copot dan melompat keluar. Feli merunduk, mengendap menuju jendela,
berdiri pelan-pelan sampai secukupnya untuk mengintip ke luar. Sosok berbaju hitam
itu masih di sana, berdiri di dekat tiang listrik, diam mematung. Mau apa pemulung sialan itu di sekolah? Ngapain
dia di sana? Apakah dia tahu aku yang melempar kepalanya kemarin? Mustahil! Kalau
pun dia tahu, dia masih saja tidak akan tahu di mana aku tinggal, di mana aku sekolah.
Berbagai pertanyaan
menyeruak dalam benak Feli, dan tak satu pun ada yang bisa dia jawab. Di luar sana,
sebuah angkot lewat, menutupi si pemulung dan tiang listrik untuk sesaat. Lalu angkot
kembali bergerak dan pandangannya kembali terbuka: kosong. Tidak ada siapa-siapa
di sana. Tidak ada pemulung atau siapapun berbaju hitam di samping tiang listrik.
Feli mengembuskan
napas lega. Segera dia bangkit dan melangkah menuju bangkunya.
Ada lima soal, dan
untuk mengerjakan setiap satu soal membutuhkan waktu hampir sepuluh menit. Setelah
mengerjakan tiga soal yang tidak dia yakin apakah jawabannya benar atau salah, Feli
memutuskan bahwa dia sudah terlalu lapar, lelah, mengkal, dan muak untuk menyelesaikan
dua soal lainnya. Dengan percaya diri, Feli mulai mengawur dua jawaban dari dua
soal terakhir. Ya, kau harus percaya diri bahkan untuk melakukan sesuatu yang kau
tahu kau ngawur dalam hal itu. Itu bisa membuat awuranmu terdengar sedikit lumayan.
Bisa makan sebelum pingsan gara-gara kelaparan
adalah lebih utama daripada bersakit-sakit menggarap soal fisika yang sama sekali
tidak yakin kebenarannya. Feli membatin.
Dengan setengah berlari
Feli menghambur menuju kantor, mengetuk pintu dengan tergesa, tidak mendapat jawaban
dari siapa pun, melongiok ke dalam, dan hanya menyaksikan kekosongan. Tidak ada
siapa-siapa di sana, kecuali tas guru fisikanya beserta lembaran PR teman sekelasnya
yang menumpuk di meja. Belum satu pun yang dikoreksi.
Feli menimbang sejenak,
apakah harus menunggu sampai gurunya muncul atau dia letakkan saja lembar soalnya
bersama milik teman-temannya dan langsung pergi. Feli ragu sejenak, tapi beberapa
saat kemudian dia sudah membulatkan keputusan, jika memang guru fisikanya ada di
kantor, pasti beberapa dari lembaran-lembaran PR itu sudah ada yang dikoreksi. Tapi
ini tak satu pun ada yang dikoreksi. Jadi, memang beliau sudah meninggalkan kantor
sejak detik pertama menaruh barang-barangnya di meja. Tak ada gunanya menunggu.
Feli memberanikan
diri masuk kantor, meletakkan lembar PRnya di bagian paling atas tumpukan, menindihnya
dengan gelas kosong agar tidak terbang, lalu segera berbalik dan pergi. Sepanjang
jalan menuju parkiran dia sudah bisa mencium aroma lezat masakan ibunya untuk makan
siang. Rasa lapar akan membuat kelezatannya meningkat puluhan kali lipat.
Parkiran itu kosong.
Bukan hanya kosong karena tidak ada orang, juga karena tidak ada satu kendaraan
pun di sana. Setidaknya seharusnya di sana ada sepeda motor miliknya, satpam dan
guru fisikanya, tapi di parkiran hanya ada sepeda miliknya. Pada hari yang lain
hal itu akan mebuat Feli bertanya-tanya, tapi pada hari yang lapar, lelah, dan pening
akibat lima soal fisika seperti hari ini, kosongnya parkiran dari kendaraan sama
sekali bukan sesuatu yang menarik untuk dipikirkan.
Feli meraih sepeda
motornya, satu-satunya di parkiran yang luas itu. Menaikinya, menstarter, mesin
menyala, menginjak perseneling, menarik gas, dan motor pun melaju perlahan. Merayap
pelan melewati pintu gerbang yang terbuka setengah dan tiba-tiba berhenti begitu
mencapai jalan raya.
Hff
jangan mogok,
jangan mogok. Sungguh mogok terburuk adalah mogok saat kelaparan dan kepalamu hampir
pecah akibat kebanyakan pikiran. Feli merutuk sendiri.
Dengan jengkel dia
menstarter lagi sepedanya. Mesin motornya menderum sesaat tapi tidak cukup kuat
untuk membuatnya menyala. Dia menstarter sekali lagi, mesin meraung, mati lagi.
Feli mengulang empat kali lagi dan hasilnya masih tidak berubah. Feli turun dari
sepeda dan membuka jok untuk memeriksa bensin. Jarum penunjuk tidak bisa dipercaya,
seberapa pun jumlah bensin di tangki jarumnya selalu jatuh di tanda E. Feli membuka
jok, membuka penutup tangki, mengintip dan mendapati bensinnya masih penuh separuh.
Feli membanting menutup jok, duduk dengan posisi sigap, lalu menginjak engkol kaki
untuk menyalakan sepeda.
Sekaali lagi mesin
terbatuk, berderum sesaat, lalu mati.
Ya Tuhan, pliiissss.
Ampuni dosa-dosa hamba dan bantulah hamba. Rintih Feli. Perutnya mulai mnenjerit
minta diisi sementara pikirannya
. Melihat sosok pemulung bertopi bambu.
PEMULUNG ITU!
Feli seketika diam.
Tatapannya terpatri pada spion sepedanya. Di sana terbingkai dengan jelas satu sosok
berbaju hitam, mengenakan topi anyaman bambu berantankan, memanggul karung di pundak,
beridri diam dengan kepala tertunduk. Detak jantung Feli langsung berantakan., sekujur
badan merinding, dorongan untuk menghidupkan sepeda motor semakin kuat dari sebelumnya.
Sungguh rasa takut dapat mengalahkan rasa lapar. Feli sekali lagi menggenjot sepedanya.
Dan gagal.
Tatapan mata Feli
tak lepas dari spion sementara kakinya terus menggenjot dan menggenjot. Mesin sepedanya
terus batuk-batuk tapi untunglah pemulung aneh itu masih berdiri diam
TIDAK! Pemulung
itu kini bergerak. Dia melangkah satu-satu. Pelan namun pasti, menuju Feli.
Ibuuuu
feli mulai
merengek. Dia gemetar, ketakutan. Pikiran paling buruk berlarian dalam benaknya
sementara pemulung itu semakin mendekat. Sesekali spion sepedanya menampakkan tangan
kanan si pemulung yang membawa gancu. Gancu panjang yang ujungnya dibiarkan terseret
di atas aspal dan berdenting nyaring.
Feli memejamkan mata,
berdoa dalam hati, lalu menggenjot sepedanya sekali lagi. Dia sudah bertekad jika
kali ini sepeda itu tidak menyala dia akan lari meninggalkannya di depan sekolah.
Dia tidak peduli apakahBRUM! Mesin motornya menyala.
Feli buru-buru duduk,
memasukkan gear, melirik spion, PEMULUNG ITU LARI MENGEJARNYA! Sambil menjerit memanggil
ibunya, feli menarik gas dan sepeda motor pun menghambur meninggalkan sekolah, meninggalkan
pemulung yang kembali berdiri diam. Berdiri di tempat tiga detik lalu sepedanya
mogok tak bergerak.
Feli menambah gear,
menambah lagi, dan terus menarik gas. Sepeda motor tua itu belari dengan kecepatan
60km per jam. Kecepatan yang dia takuti dan tidak pernah digunakan dalam perjalanan
pulang sekolah sebelum ini. Satu rasa takut bisa mengalahkan rasa takut yang lain.
Sepanjang perjalanan
Feli terus-terusan memeriksa spion, memastikan tidak ada siapa pun sedang membuntutinya.
Semakin jauh dia meninggalkan sekolah, semakin lega hatinya. Semakin lama dia tidak
menemukan sosok hitam di spion sepedanya, semakin tenang pula perasaannya. Maka
perlahan-lahan feli menurunkan kecepatannya menjadi 55km per jam, turun lagi 50km
per jam, turun lagi 45km per jam, dan akhirnya turun di kecepatan standarnya, 40km
per jam. Pada kecepatan itulah biasanya dia berkendara. Dulu sewaktu Feli baru beberapa
bulan bisa naik motor dia pernah tanpa sengaja menabrak gerobak penjual bakso sampai
jatuh terjungkir berantakan. Sejak itu Feli tidak berani melaju di atas 40km perjam.
Dan setiap kali mendapati tikungan, feli menurunkan kecepatannya sampai 20km perjam
untuk menikung. Seperti jalan di depannya kini, sebuah tikungan yang selalu membuatnya
merinding sekaligus waspada.
Feli menurunkan kecepatannya
menjadi 20km perjam begitu mendekati tikungan dan langsung menjerit sekeras-kerasnya
ketika matanya menangkap sosok pemulung berbaju hitam sedang berdiri diam tepat
di titik sudut tikungan. Dengan sigap tangannya kembali menarik gas, membuat kecepatan
20km perjam melonjak drastis menuju 30, 40, 50km perjam. Perubahan kecepatan ini
membuat sepeda motornya oleng dan menikung terlalu keluar, hampir saja motornya
menabrak si pemulung andai Feli tidak segera mengendalikannya dan menghindari tubrukan
tepat di jarak paling kritis.
Akan tetapi, peristiwa
tadi telah membawa Feli pada jarak sangat dekat dengan si pemulung, kurang dari
satu meter. Dan tanpa sengaja tadi dia sempat menengok wajah si pemulung. Wajah
yang disembunyikan di bawah topi anyaman bambu rusaknya. Wajah itu
menyeringai.
Menampakkan deretan gigi rusak berwarna gelap membusuk. Sedangkan mukanya penuh
dengan bekas cakaran panjang melintang. Wajah itu demikian rusaknya sehingga ia
lebih tampak seperti topeng rusak daripada wajah manusia.
Feli memekik ketakutan.
Wajah rusak si pemulung melekat erat di benaknya. Terbayang di pelupuk matanya.
Membuat rasa takutnya memuncak mencapai level yang belum pernah dia rasakan. Feli
merasa pemulung itu sedang berlari tepat di belakangnya, tangan terjulur menggapai-gapai,
gancu berputar di atas kepala siap disabetkan. Hanya butuh satu lompatan baginya
untuk merenggut Feli dari sepeda motor. Rasa takut itu membuat tangan feli menarik
gas semakin dalam dan semakin dalam. 80km per jam.
Feli mulai memasuki
jalan di antara ladang-ladang, tinggal dua kilometer lagi untuk mencapai pintu gerbang
desanya, Feli menyaksikan semua ketakutannya menjadi kenyatan. Kenyataan yang jauh
lebih mengerikan. Sekitar lima ratus di depannya, satu sosok berbaju hitam, dengan
topi anyaman bambu rusak bertengger di kepala, menutupi sebagian besar wajahnya,
berdiri tepat di tengah jalan. Kedua tangannya terentang lebar. Tangan kiri mencengkeram
karung yang menjuntai dan menggembung bagian bawahnya, tangan kanan memegang gancu
dengan ujung tajamnya menghadap ke atas.
Feli menjerit, meraung,
kini dia sadar bahwa pemulung itu tidak akan melepaskannya. Pemulung itu akan selalu
membuntutinya, mengejarnya. Dia tidak bisa melepaskan diri dari sosok itu. tidak
akan pernah bisa. Kecuali
kecuali jika dia bisa mengakhiri semua ini. Mengakhiri
semua ini.
Pergi atau aku tabrak
kamu!!! teringat Feli. Matanya berair akibat tamparan udara yang sangat kencang.
Pandangannya agak kabur tapi jarak di antara mereka tinggal dua ratus meter saja.
Pemulung itu tampak jelas di depannya.
Pemulung itu masih
berdiri mematung dengan kedua tangan terentang. Motor Feli melaju bagai badai pada
kecepatan 80km per jam. Mesinnya meraung berbahaya. Lalu, ketika jarak di antara
mereka tinggal seratus meter, Feli menyadari jika karung di tangan pemulung itu
tidak diam, karung itu bergerak-gerak. Bergerak-gerak dan bersuara.
50 meter menuju benturan.
Kini Feli bisa memastikan,
yang di dalam karung itu adalah kucing, semua kucing yang ada di tempat pembuangan
sampah desanya. Jadi, kemarin semua kucing itu tidak tampak karena ditangkap oleh
pemulung gila ini. Dan sekarang, setelah dia berhasil menangkap semua kucing liar,
dia ingin menagkapnya! Pemulung itu ingin menangkapnya!
Tidak, tidak, kau tidak bisa menangkapku, pemulung brengsek!
Aku bukan kucing, aku tidak akan bisa kau tangkap. Tidak akan bisa. Bahkan, aku
bisa membunuhmu sekarang!
MATI KAUUU!!! raung
Feli penuh amarah. Tangan kanannya menarik gas sampai habis. Tabrakan tidak mungkin
dihindari.
Pemulung itu tiba-tiba
mendongak, membuat topi bambunya terhentak dan jatuh ke belakang. Maka tampaklah
dengan sempurna wajahnya. Wajah yang rusak penuh bekas cakaran, dengan gigi menghitam,
dengan satu mata yang menutup rapat kelopaknya dan cekung ke dalamseakan bola matanya
hilang. Kepalanya botak dan penuh guratan bekas cakaran. Pemulung itu tertawa terbahak-bahak
menyambut terjangan sepeda motor Feli yang tak mungkin dielakkan.
Dua meter menuju tabrakan.
[]
Aku suka ceritanya 😊😊
BalasHapus