Oleh : Ummi Rita
Bendahara FLP Wilayah Jawa Timur
Tiga lembar proposal sederhana itu masih tergenggam
rapi saat dini hari aku terjaga dari lelap. Masih terasa debar hati dan gemetar
tangan saat awal membuka amplopnya tadi. Lelah letih telah mengalahkan baris
kata-kata penting isi proposal itu, juga foto diri yang menempel melengkapi
biodatanya. Sebait pesan special dari seorang umahat tangguh dan sholihah yang
sangat kukenal, saat memberikan se-amplop proposal itu; ‘dek, tolong ini
dipertimbangkan, bila perlu ditadaburi berulangkali sebelum berpikir untuk
menolak dan mengembalikannya! Hemm…pesan serius yang terus terngiang sejak
siang itu hingga terbawa lelap dan terjagaku kini. Pesan yang tak tertulis
dalam proposal itu, tapi penuh penekanan dan kesungguhan, dan…sedikit kemarahan
hehehe…
Wajarlah itu, aku sangat mengenal
beliau ‘umahat tangguh dan sholihah’ itu, perhatian dan kesungguhannya,
membersamai dan membimbing kami dalam lingkaran kajian Islam penuh cinta. Tentu
beliau ucapkan itu bukan tanpa alasan. Karena dua pekan sebelum kata-kata itu
terucap, aku pernah menolak amplop itu bahkan sebelum aku membuka dan membaca
isinya. Hemm…sadis ya! Waktu itu aku hanya mengatakan, maaf Mbak buat yang lain
dulu saja ya?! Lalu segera berpamitan demi menghindar dari wajah merahnya meski
sempat meliriknya sekejap, ah…pedih sebenarnya! Tapi aku harus bisa dan kuat!
Sepekan kemudian di akhir lingkaran
rutin penuh cinta, sekali lagi sang umahat tangguh dan sholihah menahanku untuk
tidak segera pulang. Kali ini sesi introgasi dan klarifikasi atas insiden
penolakan pekan lalu. Perlahan kata demi kata lembut beliau meluncur merasuki
kalbuku, tulus dan penuh cinta. Sepenuh hati pula aku mencoba menangkapnya,
seputar kenapa? mengapa? ada apa?. Tertatih aku menata hati dan lidah sebelum
sejurus kemudian dengan memohon kekuatan sang pemilik hati dan lidah, menjawabnya!
Kisahpun mengalir bak air bening di pegunungan, naik turun, lewati tikungan,
bebatuan, pepohonan, suaranya gemericik terbawa angin, kadang lirih, kadang
gemuruh kala terjun menuruni
jurang. Beliau ‘umahat tangguh dan sholihah’ menyimak khidmat, sesekali
pandangan mata kami beradu redup, seakan beliau ingin turut menahan bulir
bening yang sedari awal kupertahankan agar tak pecah dan liar mnganak sungai.
Bismillah…bermula dari episode
sekolahku yang nyaris terhenti karena keadaan ekonomi belum berpihak pada
orangtua dan keluarga kami. Aku kecil sangat terpukul kala itu. Mencoba berlari
temukan solusi, menganalisa, mencari tahu penyebab sekemampuan diri. Satu
kalimat modal analisisku kala itu, ‘kamu perempuan, adik-adikmu semua
laki-laki, lebih membutuhkan sekolah dan pendidikan itu’. Aaargh…sakit! Bagai
disambar petir! Tapi harus kupendam dalam-dalam, meski sebenarnya ingin sekali
berontak dan melakukan demo, tak rela hak sekolahku di moratorium, hhemm… maka
yang ada berontak dalam sunyi, demo dalam senyap, dalam pelarian dan pencarian,
membawa satu harap dan tekad, “aku harus sekolah” apapun yang terjadi!.
Aku mulai merasakan sendirian, dalam
analisa panjangku, kutemukan kesimpulan dahsyat
‘begitu aku menyebutnya’ karena dari sinilah paradigma salah tentang cinta,
pernikahan, berkeluarga, mewarnai hati dan fikiran dalam hari-hari panjangku.
Diantara temuan-temuan itu : aku tak pernah menyalahkan kondisi orangtua, hanya
bathin ini menjerit ingin bangkit merubah keadaan. Sedikit menyayangkan
saudara-saudaraku ‘kakak-kakak’ mereka sudah berkeluarga, satu pertanyaan
besarku kala itu; kenapa mereka biarkan aku, adik-adik? tak bisakah membantu?
Jika tidak bisa, apa penyebabnya? Hemm…’seperti detektif cilik’. Tak berhenti
hanya disitu, kesimpulanku terus mengalir hingga bermuara pada ; cintalah
penyebabnya! putus sekolah, lalu pasrah dengan keadaan, menyandar, menambatkan
hati, menikah seolah menjadi alternatif solutif! Sekarang lihatlah kenyataan
apa yg terjadi?! Tak banyak yang bisa diharap untuk kami! Tak kuasa berbuat
banyak untuk kami yang butuh perhatian dan kesempatan belajar ini. Begitulah
kesimpulanku yang diiringi kemarahan dan idealisme yang kerdil. Tanpa berfikir
untuk berkomunikasi take and give dengan mereka.
Dalam kemarahan hati yang sunyi itu,
aku kuati hati dengan tekad membatu, untuk perjuangkan sekolahku, meraih
sarjana impian besarku, membantu sekolah adik-adikku. Akan aku hadang sekuat
tenaga segala yang akan mencemari, melemahkan dan mematahkan tekad baja ini,
hiks... Sejak saat itu, jadilah aku wanita yang super cuek, benci dengan apapun
berbau cinta, apalagi jatuh cinta, karena ialah perusak, pematah cita-cita
besarku. Seolah inilah penyebab utamanya permasalahan dan temuan dari analisa pupuk bawang ‘sepuluh tahun usiaku’.
Waktu terus berganti berbilang
tahun, dahsyatnya tekad dan cita-cita telah menikam mindset dan jiwaku. Hampir
ku bunuh masa indah remaja, puber dan pernak perniknya. Betapa aku telah
menjadi sosok yang kejam. Ya, kejam kepada hati, hatiku! Menganiayanya,
membungkam, menutup rapat-rapat, mengusir dan lari sejauh-jauhnya atas cinta
yang datang. Tanpa sadar bahwa sebenarnya terkadang ada hati-hati lain yang
tersakiti oleh sikap kasar, yang bagiku itu tegas dan komitmen. Aku jaga ketat pergaulan,
apalagi dengan kaum adam. Saking ketatnya hingga terperosok pada angkuh dan
ketus pada mereka ‘awas jangan coba-coba mendekat dan macam-macam’ ini aku sang
pejuang cita-cita dan impian. Jadilah aku wanita gagah…hehehe…Menikmati hari-hari
serius. Sekolah, bekerja, membantu sekolah adik-adik, adalah hal yang terus
berputar di hati dan fikiranku. Demi sekolah adik-adikku, selepas SMA harus
rela bekerja, menunda meraih impian sarjana, dengan satu tekad yang kian
membaja ‘kapanpun, aku harus meraihnya’.
Sekuat apapun penantian dan tekad
menuju bangku kuliah, tetaplah aku hamba yang kadang merasakan lelah, kadang
pemicu dan pemancing lemah jiwa hampir merapuhkan, bertambahnya usiapun kadang mengusik
tekad yang sedang berjalan, mengadu, memapah dalam sendirian. Sedih dan perih
ketika ada hati yang mendekat dengan kesholehannya akan tetapi tersakiti karena
penolakanku meski dengan cara haluspun. Hingga pada episode puncaknya aku
mengalami kegagalan fatal setelah mencoba membuka hati dan menjalin benang
samara dengan hamba Allah yang tentu
baik dalam pandangan dan penilaianku. Alhasil, klaim
kesalahan besarku atas pengkhianatanku terhadap tekad, impian dan cita-citaku.
Bersimpuh aku sepenuh sesal dan taubat, berpasrah pada skenario terbaikNya.
Atas ijin Allah, hari yang indah itu
tiba, aku duduk dibangku kuliah, hari yang lama ditunggu penuh peluh juga pilu.
Setelah sepuluh tahun ketertundaannya, yah…ini mimpiku, ini sejarahku. Tak ada
mata kuliah dihari perdana itu, yang ada mata menangis, mata yang rindu menatap
wajah lelah bapak-ibuku, adik-adik…ahh…ya Robbana…sampaikanlah aku pada akhir
terbaik cita-cita dan impianku, Amiin.
Pelukan erat penuh makna sang umahat
tangguh nan sholehah pecahkan buliran hangat dimataku yang tertahan disepanjang
kisahku. Aku raih tas besar kesayanganku, ‘duhai mbakku yang tangguh dan
sholihah, ini proposal skripsi yang sedang kususun, ia menjadi saksi
kesungguhan atas cita-cita dan impian panjang ini, selangkah lagi…ya! Selangkah
lagi! Beliau raih tanganku, ia genggam erat. Beliau tatap lekat mataku, seperti
ada yang di cari disana, lalu untaian tanya meluncur; sekarang apa yang ada
dibenak antum tentang jodoh? takdir? apa ikhtiar antum untuk itu semua? apa
yang terpikir oleh antum ketika datang seorang soleh dengan kesungguhannya? Apakah
antum masih meragukan Allah dan lebih mengunggulkan cita-cita dan impian?
berapa lagi hati yang sakit atas dasar cita-cita dan impian? Yang terakhir,
berapa usia antum sekarang?. Kali ini, aku yang lunglai dalam pelukannya.
Doakan aku ya Mbak! Sebaris kata yang mampu ku ucap mengakhiri kebersamaan
siang itu.
Berlembar-lembar proposal hati
kuhamparkan dalam sujud panjang malam itu mengiringi tiga lembar proposal si
sholeh yang telah kutadaburi sesuai pesan special umahat tangguh nan sholihah.
Perlahan, kutuang proposal hati ini dalam baris-baris kertas yang kelak akan menjadi
sejarahku dengan takdir Allah. Proses terus berjalan, tawaqalAlallah
sebaik-baik pasrah hati. Dua bulan berlalu Agustus, September, telah melewati
masa ta’aruf, khitbah, silaturahim bersama keluarga. Bulan Oktober, bertepatan
bulan Romadhon yang mulia berpadulah proposal- proposal
hati itu dalam ikrar suci, dibulan yang suci, hari itu 13 Romadhon 1427
Hijriyah.
Hari ini, ruang masjid ini mulai
lengang ketika perlahan aku bangkit dari sujud panjang selepas ashar sore itu. Beriringan,
jamaah mulai meninggalkan masjid.
Terlihat jamaah para ibu percepat langkah menuju rumah, hemm…tentu akan ada banyak
hal yang hendak dipersiapkan ibu-ibu
sholehah itu jelang berbuka puasa nanti. Rutinitas penuh semangat fastabiqul khoirot ‘berlomba dalam
kebaikan’ di bulan Romadhon mulia. Rutinitas dapur! ya, begitulah tepatnya. Akan
tetapi tidak demikian sore ini
denganku. Rumah Allah yang sejuk, kokoh berwibawa, dengan hamparan tempat sujud
sederhana tetapi sarat makna ini menawan sujud hati menahan langkah kaki.
Sejenak memanjakan pandang, perlahan menatap tiap sudut ruang masjid, tak
banyak berubah dari 10 (sepuluh) tahun yang lalu, atas skenario Allah aku duduk di tempat
dan waktu yang sama di bulan Romadhon
yang suci penuh berkah.
Jam
dinding berdetak tenang tepat di jarum 15.30, teriring tarikan nafas panjang
menghangati jiwa hingga ke seluruh tubuh. Setenang jarum jam dinding itu
berputar, berputar pula display isi hati pada peristiwa sacral 10 (sepuluh)
tahun silam. Peristiwa suci, sesuci janji yang diucap, sesuci syariat yang
mengikat, di bulan suci penuh rahmat. Ya, sepuluh tahun silam! Janji suci itu…
Janji
yang telah merubah hari-hari penantian dalam bait-bait doa panjang. Janji yang
diucap oleh seorang idaman di mimbar mitsaqon
ghalidza ‘ikatan suci’ pengguncang arsy, penghalal dua jiwa yang disatukan.
Janji yang akan menjadi sebab bermulanya sejarah hidup baru dengan
pernak-pernik judul dan episodenya. Merubah hidup menjdi lebih berwarna,
menambah berkah. Janji suci bertalikan ikatan yang suci, menunaikan perintah
dari pemilik kalam yang suci, berharap Ridho Ilahi. Hemm…sungguh agung dan
mulia bukan?!
Seperti
hari ini 13 Romadhon 1437 Hijriyah, tertunduk aku terpasung dalam kenangan
suci. Lamat-lamat seolah terngiang lagi kalamullah surat Ar-Ruum yang
terlantunkan kala itu, khutbah nikah penyejuk jiwa, masih lekat baris kata dan
baitnya, Subhanallah…
Bersujud
menguatkan hati dan jiwa ini, ketika kenang itu bermuarakan pada kalimah suci
“saya terima nikahnya…” tiada kata yang paling indah selain kata fabiayyi aala
i robbikumma tukadzibaan ‘maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?!
Kata yang teus terulang mengiringi deras air mata syukur dalam sujud tafakur.
Komentar
Posting Komentar